Senin, 09 Januari 2017

Resensi Critical Eleven


Judul Buku : Critical Eleven
Penulis : Ika Natassa
Penerbit         : Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit : 2015
ISBN : 978-602-03-1892-9
Jumlah Halaman : 344

Ketika kita berbicara tentang resensi, maka kita tidak hanya membicarakan kelebihan suatu buku, namun kekurangan juga. Begitu pun dalam resensi yang saya tulis ini. Saya akan menguraikan kekurangannya terlebih dulu sebelum masuk ke bagian akhir yang bahagia, alias penuh dengan kelebihan novel ini.

Kelemahan

Pertama-tama dan yang paling penting adalah persoalan bahasa. Penulis boleh saja menggunakan sudut pandang orang pertama dalam bercerita. Yang mana di sini, baik Ale maupun Anya, merupakan orang Jakarta yang memang suka mencampur-campur omongan, Bahasa Inggris dan Indonesia. Tetapi, bukan berarti dalam narasi pun mereka melakukan hal yang sama. Artinya saya sangat sangat sangat dan sangat tidak setuju dengan cara menulis yang mencampuradukkan kedua bahasa tersebut. Ayolah, kawan, ini Indonesia, Ale dan Tanya tidak sedang bercerita dengan orang-orang yang tidak bisa Bahasa Indonesia sepenuhnya, ‘kan?
Saya tekankan, saya hanya mempermasalahkan penggunaan Bahasa Inggris di bagian narasi bukan dialog. Bukan karena saya mengalami kesulitan yang luar biasa dalam memahami kalimat-kalimat Bahasa Inggris yang bertebaran di novel ini. Sebaliknya, penulis lah yang punya masalah dalam menentukan naskah novel ini mau ditulis dalam Bahasa Inggris penuh atau Bahasa Indonesia penuh.
Meskipun tidak begitu besar, tetapi saya mencintai Indonesia. Selama masih ada cinta kenapa harus pakai love, kecuali jika penulis memang sudah memutuskan akan menulis dalam Bahasa Inggris secara total atau dalam dwi bahasa. Selain itu, bahasa yang campur-campur itu benar-benar menyakiti mata. Lagipula apakah tidak lelah, setiap kali menulis dalam Bahasa Inggris mesti menekan ctrl+italic?
Untuk bahasa, maaf sekali, 2.5/5
Kedua, saya akan menyenggol sudut pandang. Hanya seorang senior yang berani menggunakan sudut pandang seperti itu. Saya pernah menulis, “Menggunakan sudut pandang orang pertama itu sama seperti berakting.” Ya, setiap penulis mesti berakting sebagai tokoh aku. Siapa saja bisa menjadi satu aku. Tetapi, untuk menjadi dua atau lebih aku tidaklah mudah, apalagi langsung dalam satu kisah.
Ada satu bagian yang sangat mengganjal di pikiran saya, yaitu ketika Ale mendeskripsikan dirinya sendiri sebagai orang yang selalu membaca dalam penerbangan, dia tidak bisa tidur. Mengingat kisahnya yang sering terbang untuk pulang ke Jakarta, pastilah sudah banyak buku yang ia baca. Namun, buku apa sebenarnya yang  ia baca sampai dia kehabisan kebijaksaan untuk menggunakan kata “mungkin”, yang akhirnya menjadi pemicu konflik rumah tangga mereka. Pada bagian penting ini, saya merasa ini sedikit dipaksakan. Aku Ale terasa gagal. Belum lagi, kebiasaanya yang nyaris sama dengan Anya dalam mencampur-campur bahasa, padahal dalam pertemuan pertama, Ale jelas-jelas bilang dia suka Jakarta, jadi sangat aneh bila dia tiba-tiba begitu suka Bahasa Inggris dan lupa Bahasa Indonesoia.
Handle With Care oleh Jodi Picoult adalah salah satu novel yang menggunakan sudut pandang orang pertama lebih dari dua. Perbedaannya sangat jelas dengan Critical Eleven ini. Dalam buku itu Jodi sukses menjadi anak, ibu, dan ayah. Ika Natassa adalah seorang perempuan yang berakting menjadi laki-laki, yaitu Ale dalam novelnya. Membutuhkan pengamatan dalam waktu yang lama untuk mengerti bagaimana seorang pria memandang dunia. Bukan hanya tindak-tanduk seorang pria yang tampak, namun pola pikir dan hal-hal lain yang tidak terlihat. Semua itu harus benar-benar diamati barulah seorang wanita akan berhasil menjadi aku laki-laki.
Sudut pandang 3/5
Ketiga, soal plot. Di atas saya sempat menyebutkan bahwa pemicu konflik agak dipaksakan. Sebelum Anya tiba-tiba merasa sakit hati, mungkin kondisi psikisnya mesti dijelaskan. Saya akan setuju bila ada yang dilang, di sini seharusnya Anya lah yang paling terguncang. Sebab, daripada Ale, Anya lebih mengharapkan kelahiran bayinya. Kehadiran Sang Bayi jelas mampu mengenyahkan rasa sepinya yang sering ditinggal Ale.
Keguguran saat usia janin masih satu atau dua bulan tidak akan separah kematian bayi yang nyaris lahir. Harapan selama lebih dari delapan bulan itu besar sekali dan ketika itu tiba-tiba hilang begitu saja, rasanya seperti pesawat yang nyaris mendarat, namun tiba-tiba lepas kendali, nyaris sampai, tetapi tiba-tiba tak pernah sampai. Menunggu seseorang yang berlari ke arahmu, kau sudah bisa melihatnya dan kau tersenyum sambil mengatakan, “Sedikit lagi.” Tetapi, akhirnya yang kau tunggu-tunggu itu tak pernah sampai. Tak mampu lagi membayangkan bagaimana besarnya guncangan itu.
Tidak berlebihan bila Anya mengalami gangguan psikis. Daripada orang lain, Anya, sebagai seorang ibu jelas menyalahkan dirinya sendiri atas kematian bayinya. Atau bahkan dia kehilangan akal dan berpikir dia mendengar Aidan menuduhnya sebagai pembunuh. Dalam situasi seperti itu lah Anya sangat membutuhkan Ale, berharap Ale meyakinkan dirinya bahwa semua terjadi bukan karena salahnya. Tetapi, ketika Ale mengatakan satu kalimat, “Mungkin jika kamu nggak terlalu capek, maka bayi kita masih hidup.” Kalimat itu bukan dimaksudkan untuk menyalahkan Anya, namun sekadar angan-angan.
Plotnya 3.5/5

Kelebihan

Pertama, sampul dan judul. Sampulnya mantap, dengan gambar pesawat dan juga judulnya Critical Eleven. Walau saya baca di Goodreads banyak yang mempermasalahkannya dan menganggap itu tidak cocok. Saya berpikir sebaliknya, judulnya sangat pas. Entah bagaimana maksud penulis, saya merasa pesawat yang dimaksud bukanlah pesawat biasa, tetapi pesawat kehidupan.
Pesawat hanya sebagai simbol, namun maknanya jauh lebih dalam daripada itu. Sebelas menit yang kritis saat bertemu orang baru. Sebelas menit itu lah yang menentukan sebuah hubungan terjalin atau tidak. Dan ketika kita memutuskan menjalin hubungan dengan orang baru itu, maka saat itu juga kita menyerahkan kendali terhadap sebagian kehidupan kita. Ya, ketika menjalin hubungan baru kita mendapatkan co-pilot baru. Dalam penerbangan mungkin hanya ada satu co-pilot, namun dalam penerbangan hidup ada banyak co-pilot.
5/5 untuk sampul dan judulnya.
Kedua, jika bahasa untuk narasi saya permasalahkan, maka apa yang disampaikan penulis dalam narasinya merupakan keberhasilannya sebagai penulis. Katanya, penulis tidak dikatakan berhasil bila belum menghasilkan karya yang mencerminkan zamannya. Abad 21 dan zamannya jejaring sosial tercermin dalam novel ini. Ditambah beberapa kali penulis sempat menyebutkan tahun dan tanggal. Apalagi ketika Anya memberikan kabar gembira pada Ale tepat pada 7 Januari 2014, ini tanggal dan bulan kelahiran saya. Intinya, karena tanggal itu, saya seperti memiliki ikatan batin dengan novel ini.
Di samping itu, perubahan sosialnya juga tergambar begitu nyata di sini. Di beberapa bagian, beberapa tokoh tidak merasa risih membicarakan hal-hal yang berbau seks. Itu justru nilai plusnya. Karena dengan begitu, novel ini berhasil menunjukkan seperti apa Jakarta pada tahun 2014-2015. Segera menjadi sejarah dua puluh tahun mendatang.
Untuk isi dari narasinya 4.5/5.

Harapan saya untul film Critical Eleven yang akan segera tayang adalah, saya berharap Ale berbicara dengan sedikit logat betawi, tidak terlalu kental, namun masih terdengar. Kemudian, bagian prolog film itu ditampilkan beberapa detik cuplikan pesta pernikahan Ale dan Anya. Dan satu lagi, kondisi psikis dan fisik Anya setelah kehilangan bayinya, saya harap lebih disoroti.

        Apa yang saya bayangkan tentang film yang akan datang tersebut adalah cinta. Jelas, kan? Apa lagi yang bisa terbayangkan dari film yang dibuat berdasarkan novel romantis? (Sayang nyengir)
Sebelum saya benar-benar membeli buku, saya terbiasa melihat review-nya di Goodreads. Beberapa orang mengatakan novel ini bagus, beberapa bahkan memberikan kritikan tajam. Namun, akhirnya alasan yang menggerakkan saya membeli novel ini bukan persoalan bagus tidaknya buku ini menurut pandangan orang lain, melainkan persoalan kehilangan bayi yang dibahas dalam novel. Saya memang belum pernah kehilangan bayi, tetapi kakak sepupu saya baru saja keguguran. Dia memang harus berusaha lebih keras dari perempuan lain untuk mengandung.
Tolong doakan kakak saya, semoga keinginannya untuk memiliki hubungan baru (hubungan ibu-anak) segera terkabul. Supaya ia dan suaminya menjadi lengkap.
Terakhir, maaf bila ada salah kata dan terimakasih.
Dan … sangat mudah untuk jatuh cinta, tetapi untuk mencintai kita membutuhkan segala yang kita miliki. Tetapi, tidak ada yang perlu dikorbankan untuk mencintai, karena ketika kita berpikir kita telah berkorban saat itulah kita gagal mencintai.
Salam hangat dari saya.