Kamis, 30 Agustus 2018

PROSA NAKAL




Judul               : Gentayangan

Penulis            : Intan Paramaditha

Penerbit         : Gramedia Pustaka Utama

Tahun             : 2017

Halaman         : 942

ISBN                : 978-602-03-7772-8

Harga              : Rp. 137.500 (Medan tahun 2018)

Waktu aku lihat novel ini dari jauh, aku kira ini novel horor. Judulnya horor, sampul dengan gambar sepatu merah, cuma sebelah, semakin meyakinkan kehororannya. Karena penasaran, aku dekati si sepatu merah ini, memelototinya selama mungkin. Di bagian bawah judul tercetak “pilih sendiri petualangan sepatu merahmu”, aku mulai berpikir ini mungkin genrenya petualangan. Kemudian, aku membaca sinopsis di bagian belakang. Sebaris kalimat; “Cewek baik masuk surga, cewek bandel gentayangan.”
            “Aku akan beli buku ini,” pikirku. Kulihat harganya, Rp. 137.500 (Gramedia Medan). Aku seperti terserang penyakit jantung. Berapa halaman sih? Kok mahal? 492? Semakin bertanya-tanya karena nama penulisnya juga baru hari itu aku tahu. Aku lirik dua novel yang menjadi alasanku ke toko buku hari itu, Trilogi Tan Malaka bagian kedua oleh Hendri Teja dan Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas oleh Eka Kurniawan.
            Aku menghabiskan setengah jam berdiri di tempat yang sama hanya untuk memastikan kepantasan harga yang ditempel di buku ini. “Ini prosa yang nakal,” aku mengomentari dalam pikiranku. “Benar-benar nakal. Aku harus membawa si nakal ini ke rumah.”
            Harga di atas tidak mahal untuk si nakal yang berisi. Aku menyukainya. Tidak akan membosankan berapa kali pun dibaca. Lagipula, format penulisan novel ini berbeda dari yang lain. Ini yang pertama kubaca, mungkin memang benar-benar pertama di Indonesia dan aku merasa bersyukur Gentayangan yang pertama.
            Selama membaca, sering menemukan kalimat yang menohok (inilah yang membuat novel ini jadi sedikit menyeramkan). Yang paling menusuk buatku ketika ketemu dengan Meena. Mbak Intan tahu betul kalau perempuan sering melakukan persaingan rahasia di dalam kepalanya. Aku juga demikian, terutama kalau lelaki yang ditaksir malah naksir perempuan lain (menertawakan diri sendiri). Mungkin novel ini akan terus menjadi pengingat bagiku untuk tidak melakukan hal-hal konyol yang tidak berarti (sekali lagi menertawakan diri sendiri).
            Aku sama sekali tidak bisa menyebutkan kurangnya novel ini, karena memang tidak menemukannya. Mungkin ada beberapa kata yang typo, tapi segera terlupakan.
            Terakhir, “Mbak Intan, terimakasih untuk karya prosa yang nakal ini, dan aku tunggu karyamu yang lain.”