Sebuah Novel Kelas Internasional
Ini
pertama kalinya aku menulis resensi novel, itu pun karena hobiku berkeliaran di
dunia maya, maka aku bertemu dengan sayembara menulis resensi. Tanpa pikir
panjang aku langsung memutuskan untuk ikut, meskipun aku tahu aku kurang
berpengalaman dalam hal resensi. Ada tiga judul pilihan yang diajukan pihak
panitia, dan karena cover A Girl Who
Loves A Ghost saja, aku langsung tertarik, dan ingin segera memilikinya,
walaupun keikutsertaanku dalam sayembara ini bisa saja batal karena ‘kemalasan’
merindukanku.
Setelah
kudapatkan, aku melihat muka-belakang, muka-belakang, di mana endorsement-nya? Aku tak mau ambil
pusing soal itu, lagian apa hubungannya novel bagus dengan endorsement? Dukungan semacam itu tidak akan mengubah isinya. Aku sudah
sering kecewa, pergi ke toko buku, melihat-lihat cover buku, mengarahkan mata ke dukungan yang bagus dari orang yang
berstatus bagus, membeli buku yang mendapat dukungan paling bagus, dan akhirnya
setelah kubaca, “Kembalikan uangku!” adalah kalimat yang kuteriakkan.
Biasanya aku sanggup membaca novel
setebal lima ratus halaman hanya dalam waktu dua hari, jika ceritanya menarik. Dan
Alexia Chen berhasil membuatku mengorbankan waktu tidurku hanya untuk membaca
novelnya. Tidak banyak penulis yang sanggup melakukan itu padaku, dan dia salah
satunya.
A Girl Who Loves A Ghost becerita
tentang gadis cenayang bernama Aleeta Jones. Gadis itu merupakan blasteran
Indonesia-Amerika-China. Suatu pagi dia melihat berita pembunuhan yang terjadi
pada anak pengusaha kaya di berita koran, Nakano Yuto. Kebiasaan Aleeta mendoakan orang kurang
beruntung, meskipun dia tak mengenalnya, sukses menyeret Yuto ke hadapan
Aleeta. Karena penyeretan itu, Yuto memaksa Aleeta membantunya menyelesaikan ‘urusan
yang belum selesai’.
Pemaksaan itu akhirnya membuat
Aleeta terlibat dalam masalah-masalah yang hendak diselesaikan Yuto. Hantu Yuto
dan Cenayang Aleeta sama sekali tidak merencanakan kisah percintaan mereka bakal
mewarnai misi penyelesaian masalah. Malah sebaliknya, ‘misi penyelesaian
masalah’ seolah berubah menajadi tokoh yang merencanakan kisah percintaan
mereka.
Selama dua hari membaca novel buatan
anak bangsa ini, aku serasa membaca novel berkelas buatan penulis berpengalaman. Bahasa yang digunakan oleh penulis sederhana. Meskipun ‘percintaan’
ditambah ‘hantu’ ditambah ‘cenayang’ ditambah ‘urusan yang belum selesai’
merupakan kombinasi yang sangat sering dijumpai dalam film maupun buku, namun
penulis dapat membuatnya menjadi indah dengan kehadiran tokoh-tokoh yang unik. ‘Urusan
yang belum selesai’ yang dirangkai oleh penulis melengkapi keindahan itu.
Menulis dengan sudut pandang orang
pertama, menurutku sama dengan akting. Ketika aku memilih menjadi tokoh utama
di dalam tulisanku, yang mana aku di dalam cerita adalah tokoh yang agresif
sementara aku dalam kehidupan nyata adalah orang yang pemalu, maka pada saat
itulah aku berakting, tentu menunjukkan aktingku melalui tulisan.
Entah hanya perasaan atau memang
kenyataannya, penulis belum berhasil menanggalkan kepribadiannya dalam cerita
ini. Alexia Chen dan Aleeta Jones seolah merupakan tokoh yang sama dalam dunia
berbeda, kesukaan penulis terhadap warna ungu dilekatkan pada Aleeta Jones
merupakan salah satu contohnya. Ini tentu tidak baik jika hendak menulis novel
lainnya dengan sudut pandang orang pertama. Tetapi, ini bukanlah masalah besar
dalam novel ini.
Kejutan di dalam novel ini terbilang
minim—menurutku—karena aku hampir barhasil menebak semuanya. Entah karena
berspekulasi adalah kegiatan yang paling kusuka atau karena memang plotnya
mudah ditebak. Meski begitu, tidak akan mengurangi keindahan yang sudah
kusebutkan tadi.
Novel ini kurang menyisipkan informasi
yang membuat pembaca terhibur sekaligus mendapat pengetahuan baru. Misalkan
penulis bisa menyisipkan informasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan
tulisannya, seperti pengetahuan tentang budaya Cina, Amerika, yang sekiranya
belum diketahui banyak orang di Indonesia. Lalu bisa yang berhubungan dengan
eksistensi hantu.
Selebihnya, aku akan meletakkan
novel ini di tempat yang sama di mana novel-novel sekelas internasional
kuletakkan. Karena A Girl Who Loves A Ghost sangat sangat pantas bersaing dengan
novel-novel kelas internasional, aku sangat bangga menuliskan ini.
Selanjutnya aku benar-benar berharap
novel ini dibuat menjadi drama seri. Aku tak rela kalau dibuat film, karena
selalu bikin jengkel. Meskipun tak ada yang bertanya mengapa aku jengkel? Jawabannya
adalah, kalau novel dibuat jadi film biasanya dipotong sana-sini, jelas aku
tidak rela.