Judul :
Gentayangan
Penulis : Intan Paramaditha
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun :
2017
Halaman : 942
ISBN :
978-602-03-7772-8
Harga :
Rp. 137.500 (Medan tahun 2018)
Waktu aku
lihat novel ini dari jauh, aku kira ini novel horor. Judulnya horor, sampul
dengan gambar sepatu merah, cuma sebelah, semakin meyakinkan kehororannya.
Karena penasaran, aku dekati si sepatu merah ini, memelototinya selama mungkin.
Di bagian bawah judul tercetak “pilih sendiri petualangan sepatu merahmu”, aku
mulai berpikir ini mungkin genrenya petualangan. Kemudian, aku membaca sinopsis
di bagian belakang. Sebaris kalimat; “Cewek baik masuk surga, cewek bandel
gentayangan.”
“Aku akan beli buku ini,” pikirku.
Kulihat harganya, Rp. 137.500 (Gramedia Medan). Aku seperti terserang penyakit
jantung. Berapa halaman sih? Kok mahal? 492? Semakin bertanya-tanya karena nama
penulisnya juga baru hari itu aku tahu. Aku lirik dua novel yang menjadi
alasanku ke toko buku hari itu, Trilogi
Tan Malaka bagian kedua oleh Hendri Teja dan Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas oleh Eka Kurniawan.
Aku menghabiskan setengah jam
berdiri di tempat yang sama hanya untuk memastikan kepantasan harga yang
ditempel di buku ini. “Ini prosa yang nakal,” aku mengomentari dalam pikiranku.
“Benar-benar nakal. Aku harus membawa si nakal ini ke rumah.”
Harga di atas tidak mahal untuk si
nakal yang berisi. Aku menyukainya. Tidak akan membosankan berapa kali pun
dibaca. Lagipula, format penulisan novel ini berbeda dari yang lain. Ini yang
pertama kubaca, mungkin memang benar-benar pertama di Indonesia dan aku merasa
bersyukur Gentayangan yang pertama.
Selama membaca, sering menemukan
kalimat yang menohok (inilah yang membuat novel ini jadi sedikit menyeramkan).
Yang paling menusuk buatku ketika ketemu dengan Meena. Mbak Intan tahu betul
kalau perempuan sering melakukan persaingan rahasia di dalam kepalanya. Aku
juga demikian, terutama kalau lelaki yang ditaksir malah naksir perempuan lain
(menertawakan diri sendiri). Mungkin novel ini akan terus menjadi pengingat
bagiku untuk tidak melakukan hal-hal konyol yang tidak berarti (sekali lagi
menertawakan diri sendiri).
Aku sama sekali tidak bisa
menyebutkan kurangnya novel ini, karena memang tidak menemukannya. Mungkin ada
beberapa kata yang typo, tapi segera
terlupakan.
Terakhir, “Mbak Intan, terimakasih
untuk karya prosa yang nakal ini, dan aku tunggu karyamu yang lain.”