Kamis, 30 Agustus 2018

PROSA NAKAL




Judul               : Gentayangan

Penulis            : Intan Paramaditha

Penerbit         : Gramedia Pustaka Utama

Tahun             : 2017

Halaman         : 942

ISBN                : 978-602-03-7772-8

Harga              : Rp. 137.500 (Medan tahun 2018)

Waktu aku lihat novel ini dari jauh, aku kira ini novel horor. Judulnya horor, sampul dengan gambar sepatu merah, cuma sebelah, semakin meyakinkan kehororannya. Karena penasaran, aku dekati si sepatu merah ini, memelototinya selama mungkin. Di bagian bawah judul tercetak “pilih sendiri petualangan sepatu merahmu”, aku mulai berpikir ini mungkin genrenya petualangan. Kemudian, aku membaca sinopsis di bagian belakang. Sebaris kalimat; “Cewek baik masuk surga, cewek bandel gentayangan.”
            “Aku akan beli buku ini,” pikirku. Kulihat harganya, Rp. 137.500 (Gramedia Medan). Aku seperti terserang penyakit jantung. Berapa halaman sih? Kok mahal? 492? Semakin bertanya-tanya karena nama penulisnya juga baru hari itu aku tahu. Aku lirik dua novel yang menjadi alasanku ke toko buku hari itu, Trilogi Tan Malaka bagian kedua oleh Hendri Teja dan Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas oleh Eka Kurniawan.
            Aku menghabiskan setengah jam berdiri di tempat yang sama hanya untuk memastikan kepantasan harga yang ditempel di buku ini. “Ini prosa yang nakal,” aku mengomentari dalam pikiranku. “Benar-benar nakal. Aku harus membawa si nakal ini ke rumah.”
            Harga di atas tidak mahal untuk si nakal yang berisi. Aku menyukainya. Tidak akan membosankan berapa kali pun dibaca. Lagipula, format penulisan novel ini berbeda dari yang lain. Ini yang pertama kubaca, mungkin memang benar-benar pertama di Indonesia dan aku merasa bersyukur Gentayangan yang pertama.
            Selama membaca, sering menemukan kalimat yang menohok (inilah yang membuat novel ini jadi sedikit menyeramkan). Yang paling menusuk buatku ketika ketemu dengan Meena. Mbak Intan tahu betul kalau perempuan sering melakukan persaingan rahasia di dalam kepalanya. Aku juga demikian, terutama kalau lelaki yang ditaksir malah naksir perempuan lain (menertawakan diri sendiri). Mungkin novel ini akan terus menjadi pengingat bagiku untuk tidak melakukan hal-hal konyol yang tidak berarti (sekali lagi menertawakan diri sendiri).
            Aku sama sekali tidak bisa menyebutkan kurangnya novel ini, karena memang tidak menemukannya. Mungkin ada beberapa kata yang typo, tapi segera terlupakan.
            Terakhir, “Mbak Intan, terimakasih untuk karya prosa yang nakal ini, dan aku tunggu karyamu yang lain.”

Senin, 09 Januari 2017

Resensi Critical Eleven


Judul Buku : Critical Eleven
Penulis : Ika Natassa
Penerbit         : Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit : 2015
ISBN : 978-602-03-1892-9
Jumlah Halaman : 344

Ketika kita berbicara tentang resensi, maka kita tidak hanya membicarakan kelebihan suatu buku, namun kekurangan juga. Begitu pun dalam resensi yang saya tulis ini. Saya akan menguraikan kekurangannya terlebih dulu sebelum masuk ke bagian akhir yang bahagia, alias penuh dengan kelebihan novel ini.

Kelemahan

Pertama-tama dan yang paling penting adalah persoalan bahasa. Penulis boleh saja menggunakan sudut pandang orang pertama dalam bercerita. Yang mana di sini, baik Ale maupun Anya, merupakan orang Jakarta yang memang suka mencampur-campur omongan, Bahasa Inggris dan Indonesia. Tetapi, bukan berarti dalam narasi pun mereka melakukan hal yang sama. Artinya saya sangat sangat sangat dan sangat tidak setuju dengan cara menulis yang mencampuradukkan kedua bahasa tersebut. Ayolah, kawan, ini Indonesia, Ale dan Tanya tidak sedang bercerita dengan orang-orang yang tidak bisa Bahasa Indonesia sepenuhnya, ‘kan?
Saya tekankan, saya hanya mempermasalahkan penggunaan Bahasa Inggris di bagian narasi bukan dialog. Bukan karena saya mengalami kesulitan yang luar biasa dalam memahami kalimat-kalimat Bahasa Inggris yang bertebaran di novel ini. Sebaliknya, penulis lah yang punya masalah dalam menentukan naskah novel ini mau ditulis dalam Bahasa Inggris penuh atau Bahasa Indonesia penuh.
Meskipun tidak begitu besar, tetapi saya mencintai Indonesia. Selama masih ada cinta kenapa harus pakai love, kecuali jika penulis memang sudah memutuskan akan menulis dalam Bahasa Inggris secara total atau dalam dwi bahasa. Selain itu, bahasa yang campur-campur itu benar-benar menyakiti mata. Lagipula apakah tidak lelah, setiap kali menulis dalam Bahasa Inggris mesti menekan ctrl+italic?
Untuk bahasa, maaf sekali, 2.5/5
Kedua, saya akan menyenggol sudut pandang. Hanya seorang senior yang berani menggunakan sudut pandang seperti itu. Saya pernah menulis, “Menggunakan sudut pandang orang pertama itu sama seperti berakting.” Ya, setiap penulis mesti berakting sebagai tokoh aku. Siapa saja bisa menjadi satu aku. Tetapi, untuk menjadi dua atau lebih aku tidaklah mudah, apalagi langsung dalam satu kisah.
Ada satu bagian yang sangat mengganjal di pikiran saya, yaitu ketika Ale mendeskripsikan dirinya sendiri sebagai orang yang selalu membaca dalam penerbangan, dia tidak bisa tidur. Mengingat kisahnya yang sering terbang untuk pulang ke Jakarta, pastilah sudah banyak buku yang ia baca. Namun, buku apa sebenarnya yang  ia baca sampai dia kehabisan kebijaksaan untuk menggunakan kata “mungkin”, yang akhirnya menjadi pemicu konflik rumah tangga mereka. Pada bagian penting ini, saya merasa ini sedikit dipaksakan. Aku Ale terasa gagal. Belum lagi, kebiasaanya yang nyaris sama dengan Anya dalam mencampur-campur bahasa, padahal dalam pertemuan pertama, Ale jelas-jelas bilang dia suka Jakarta, jadi sangat aneh bila dia tiba-tiba begitu suka Bahasa Inggris dan lupa Bahasa Indonesoia.
Handle With Care oleh Jodi Picoult adalah salah satu novel yang menggunakan sudut pandang orang pertama lebih dari dua. Perbedaannya sangat jelas dengan Critical Eleven ini. Dalam buku itu Jodi sukses menjadi anak, ibu, dan ayah. Ika Natassa adalah seorang perempuan yang berakting menjadi laki-laki, yaitu Ale dalam novelnya. Membutuhkan pengamatan dalam waktu yang lama untuk mengerti bagaimana seorang pria memandang dunia. Bukan hanya tindak-tanduk seorang pria yang tampak, namun pola pikir dan hal-hal lain yang tidak terlihat. Semua itu harus benar-benar diamati barulah seorang wanita akan berhasil menjadi aku laki-laki.
Sudut pandang 3/5
Ketiga, soal plot. Di atas saya sempat menyebutkan bahwa pemicu konflik agak dipaksakan. Sebelum Anya tiba-tiba merasa sakit hati, mungkin kondisi psikisnya mesti dijelaskan. Saya akan setuju bila ada yang dilang, di sini seharusnya Anya lah yang paling terguncang. Sebab, daripada Ale, Anya lebih mengharapkan kelahiran bayinya. Kehadiran Sang Bayi jelas mampu mengenyahkan rasa sepinya yang sering ditinggal Ale.
Keguguran saat usia janin masih satu atau dua bulan tidak akan separah kematian bayi yang nyaris lahir. Harapan selama lebih dari delapan bulan itu besar sekali dan ketika itu tiba-tiba hilang begitu saja, rasanya seperti pesawat yang nyaris mendarat, namun tiba-tiba lepas kendali, nyaris sampai, tetapi tiba-tiba tak pernah sampai. Menunggu seseorang yang berlari ke arahmu, kau sudah bisa melihatnya dan kau tersenyum sambil mengatakan, “Sedikit lagi.” Tetapi, akhirnya yang kau tunggu-tunggu itu tak pernah sampai. Tak mampu lagi membayangkan bagaimana besarnya guncangan itu.
Tidak berlebihan bila Anya mengalami gangguan psikis. Daripada orang lain, Anya, sebagai seorang ibu jelas menyalahkan dirinya sendiri atas kematian bayinya. Atau bahkan dia kehilangan akal dan berpikir dia mendengar Aidan menuduhnya sebagai pembunuh. Dalam situasi seperti itu lah Anya sangat membutuhkan Ale, berharap Ale meyakinkan dirinya bahwa semua terjadi bukan karena salahnya. Tetapi, ketika Ale mengatakan satu kalimat, “Mungkin jika kamu nggak terlalu capek, maka bayi kita masih hidup.” Kalimat itu bukan dimaksudkan untuk menyalahkan Anya, namun sekadar angan-angan.
Plotnya 3.5/5

Kelebihan

Pertama, sampul dan judul. Sampulnya mantap, dengan gambar pesawat dan juga judulnya Critical Eleven. Walau saya baca di Goodreads banyak yang mempermasalahkannya dan menganggap itu tidak cocok. Saya berpikir sebaliknya, judulnya sangat pas. Entah bagaimana maksud penulis, saya merasa pesawat yang dimaksud bukanlah pesawat biasa, tetapi pesawat kehidupan.
Pesawat hanya sebagai simbol, namun maknanya jauh lebih dalam daripada itu. Sebelas menit yang kritis saat bertemu orang baru. Sebelas menit itu lah yang menentukan sebuah hubungan terjalin atau tidak. Dan ketika kita memutuskan menjalin hubungan dengan orang baru itu, maka saat itu juga kita menyerahkan kendali terhadap sebagian kehidupan kita. Ya, ketika menjalin hubungan baru kita mendapatkan co-pilot baru. Dalam penerbangan mungkin hanya ada satu co-pilot, namun dalam penerbangan hidup ada banyak co-pilot.
5/5 untuk sampul dan judulnya.
Kedua, jika bahasa untuk narasi saya permasalahkan, maka apa yang disampaikan penulis dalam narasinya merupakan keberhasilannya sebagai penulis. Katanya, penulis tidak dikatakan berhasil bila belum menghasilkan karya yang mencerminkan zamannya. Abad 21 dan zamannya jejaring sosial tercermin dalam novel ini. Ditambah beberapa kali penulis sempat menyebutkan tahun dan tanggal. Apalagi ketika Anya memberikan kabar gembira pada Ale tepat pada 7 Januari 2014, ini tanggal dan bulan kelahiran saya. Intinya, karena tanggal itu, saya seperti memiliki ikatan batin dengan novel ini.
Di samping itu, perubahan sosialnya juga tergambar begitu nyata di sini. Di beberapa bagian, beberapa tokoh tidak merasa risih membicarakan hal-hal yang berbau seks. Itu justru nilai plusnya. Karena dengan begitu, novel ini berhasil menunjukkan seperti apa Jakarta pada tahun 2014-2015. Segera menjadi sejarah dua puluh tahun mendatang.
Untuk isi dari narasinya 4.5/5.

Harapan saya untul film Critical Eleven yang akan segera tayang adalah, saya berharap Ale berbicara dengan sedikit logat betawi, tidak terlalu kental, namun masih terdengar. Kemudian, bagian prolog film itu ditampilkan beberapa detik cuplikan pesta pernikahan Ale dan Anya. Dan satu lagi, kondisi psikis dan fisik Anya setelah kehilangan bayinya, saya harap lebih disoroti.

        Apa yang saya bayangkan tentang film yang akan datang tersebut adalah cinta. Jelas, kan? Apa lagi yang bisa terbayangkan dari film yang dibuat berdasarkan novel romantis? (Sayang nyengir)
Sebelum saya benar-benar membeli buku, saya terbiasa melihat review-nya di Goodreads. Beberapa orang mengatakan novel ini bagus, beberapa bahkan memberikan kritikan tajam. Namun, akhirnya alasan yang menggerakkan saya membeli novel ini bukan persoalan bagus tidaknya buku ini menurut pandangan orang lain, melainkan persoalan kehilangan bayi yang dibahas dalam novel. Saya memang belum pernah kehilangan bayi, tetapi kakak sepupu saya baru saja keguguran. Dia memang harus berusaha lebih keras dari perempuan lain untuk mengandung.
Tolong doakan kakak saya, semoga keinginannya untuk memiliki hubungan baru (hubungan ibu-anak) segera terkabul. Supaya ia dan suaminya menjadi lengkap.
Terakhir, maaf bila ada salah kata dan terimakasih.
Dan … sangat mudah untuk jatuh cinta, tetapi untuk mencintai kita membutuhkan segala yang kita miliki. Tetapi, tidak ada yang perlu dikorbankan untuk mencintai, karena ketika kita berpikir kita telah berkorban saat itulah kita gagal mencintai.
Salam hangat dari saya.

Sabtu, 30 April 2016

Resensi Titian Kejahatan

Judul Buku                : Titian Kejahatan (Terjemahan)
Penulis                        : Robert Galbraith
Penerbit                      : Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit             : 2016
Jumlah Halaman       : 552
ISBN                           : 978-602-03-2636-8

Sekitar 20 April lalu, saya melihat kiriman Gramedia Pustaka Utama muncul di kolom umpan di facebook. Sudah lama saya menyukai halaman itu, saya pikir sangat berguna untuk mendapatkan informasi buku-buku terbaru GPU serta harganya. Sangat berharap tidak ketinggalan berita tentang serial Cormoran Strike. Namun, apa boleh buat saya terkejut setengah mati melihat kiriman itu, pasalnya isi kiriman itu informasi lomba resensi yang diadakan Gramedia Pustaka Utama. Yang pertama kali membuat saya terkejut bukan tanda tangan Robert Galbraith, melainkan seri ketiga yang muncul di sana bersama seri pertama dan kedua. Wah, saya ketinggalan berita.
            Kejutan kedua datang dari tanda tangan Robert Galbraith, dalam hati saya berteriak, “Aku mau.” Dengan itu, saya membuat resensi seri pertama dan seri kedua, supaya bisa ikut lomba. Pada 25 April, hari Senin, sepulang dari acara judisium teman sekampus, saya pun mampir di Gramedia Gadjah Mada, Medan, tanpa melihat-lihat seperti biasa, langsung saja mengambil Career of Evil dari rak, membayarnya, lalu pulang dengan tergesa-gesa.
            Di angkutan kota, saya membaca sinopsisnya. Beginilah isi sinopsis itu:
            “Sebuah paket misterius dikirim kepada Robin Ellacot, dan betapa terkejutnya dia ketika menemukan potongan tungkai wanita di dalamnya.
            Atasan Robin, detektif partikelir Cormoran Strike, mencurigai empat orang dari masa lalunya yang mungkin bertanggung jawab atas kiriman mengerikan itu—empat orang yang sanggup melakukan tindakan brutal.
            Tatkala polisi mengejar satu tersangka pelaku yang menurut Strike justru paling kecil kemungkinannya, dia dan Robin melakukan penyelidikan sendiri dan terjun ke dunia kelam tempat ketiga tersangka yang lain berada. Namun, waktu kian memburu mereka, sementara si pembunuh kejam kembali melaukan aksi-aksi mengerikan.”
            Ketika semakin dalam saya memasuki novel ini, saya semakin tercengang dengan peralihan J.K. Rowling yang sangat terkenal dengan novel Harry Potter-nya yang penuh imajinasi dan begitu pantas untuk anak di bawah umur. Sangat berbeda dengan novel kriminal yang sekarang berdiri manis di rak meja belajar saya.
            Career of Evil bisa dibilang lebih ganas daripada pembunuhan brutal sebelumnya dalam Ulat Sutra. Tersangka dalam seri ini lebih sedikit daripada sebelumnya yang jumlahnya lebih dari tujuh orang. Motif pelaku kriminal kali ini sudah jelas sejak awal, yaitu dendam, berbeda dari seri-seri sebelumnya. Belum lagi, Cormoran Strike, si detektif partikelir sendiri yang terlibat, menjadi objek balas dendam pelaku.
            Kiriman tungkai wanita ke kantor Strike, ditujukan secara khusus pada Robin adalah awal pembalasan dendam pelaku. Strike kehilangan banyak klien karena berita “tungkai wanita” menyusup ke koran harian. Para pengguna jasa Strike menganggap biro detektif, yang susah payah dibangun Strike, sedang bermasalah.
            Itulah kesulitan yang mesti dihadapi Strike, menyelidiki kasus balas dendam dengan dana minim, hanya tersisa dua klien yang siap membayar jasanya. Pada seri sebelumnya, misteri lebih mendominasi daripada kriminal. Namun kali ini, antara misteri dan kriminal bisa dibilang seimbang, tidak ada yang mendominasi.
            Tindak kriminal itu diperlihatkan dari banyaknya korban dalam novel ini, ada empat orang yang salah satunya merupakan gadis pemilik tungkai. Misteri yang tersisa hanya dugaan pada tiga tersangka, karena dalam setiap pernyataan, jelas dikatakan Strike yakin tersangka yang pertama kali muncul dalam benaknya bukanlah orang itu. Tetapi, siapa yang tahu? Bisa saja itu tipuan.
            Saya sangat bersemangat, Galbraith mengajak saya ke Skotlandia, kita ke sana naik kereta dari London, singgah ke kantor Hardy untuk meminjam mobil dan sedikit mencuri informasi, lalu pergi ke Melrose. Di sana pulalah, masa lalu Strike dikisahkan, terlibat dalam penjeblosan Donald Laing, salah satu tersangka, ke penjara, karena penganiayaan. Laing adalah tokoh yang kelihatannya memiliki dendam paling besar kepada Strike. Tetapi, siapa yang tahu dia pelaku itu atau bukan?
            Lagi dan lagi, saya harus mengatakan ini berulang kali, saya terpukau dengan cara Galbraith mendeskripsikan tempat-tempat yang muncul dalam novel ini. Cara kerjanya sangat keren, pada bagian ucapan terima kasih, saya tahu dia mengunjungi Cabang Investigasi Khusus di Edinburgh. Jadi, detil-detil tempat dalam novel ini bukan sekadar ingatan yang meraba-raba di mana sering kali terdapat penambahan-penambahan yang tidak nyata.
            Pada seri inilah, saya merasa Galbraith telah menegaskan karakter Strike, pria misterius yang bekerja karena gairah, tidak berhenti meskipun banyak orang di luar sana yang menumpuk dendam akibat pekerjaannya. Tetapi, kehadiran ibu Rhona, Mrs. Bunyan di Melrose yang dipenuhi rasa terimakasih kepada Strike karena telah menyelamatkan putrinya, menegaskan sosok Strike yang heroik.
            Dengan senang hati saya mengatakan, “Selamat datang Cormoran Strike, pahlawan abad dua puluh satu yang menangkap penjahat dengan cara melemparkan bukti-bukti kejahatan di depan publik.”
            Biasanya novel terjemahan tidak memiliki kata-kata yang tidak baku. Namun, dalam serial Cormoran Strike ada beberapa yang tidak baku. Menurut saya itu bukan hal yang buruk, justru sangat bagus, karena orang London pun mengenal yang namanya bahasa rakyat biasa, dan juga bahasa sehari-hari, berbeda dari bahasa resmi yang biasa digunakan dalam acara-acara resmi. Jadi, sangat pas bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang tidak baku juga. Supaya perbedaan diksi di antara para tokoh jelas terlihat.
            “Terimakasih deh, buat Mbak Siska Yuanita atas terjemahannya. Dan untuk GPU, terimakasih sudah diterbitkan novel ini.”

            Tidak sabar membaca seri berikutnya. Sangat beraharap memegang The Silkworn yang ditandatangani Galbraith.

Resensi Ulat Sutra

Judul Buku                : Ulat Sutra (Terjemahan)
Penulis                        : Robert Galbraith
Penerbit                      : Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit             : 2014
Jumlah Halaman       : 536
ISBN                           : 978-602-03-0981-1


Ulat Sutra merupakan seri ke-2 dari serial Cormoran Strike, yang ditulis oleh Robert Galbraith, dimana seri pertamanya, Dekut Burung Kukuk (The Cuckoo’s Calling), mendulang kesuksesan. Sebelumnya ada Lula Landry yang diduga bunuh diri dengan melompat dari flatnya di lantai 3. Dugaan itu dianggap keliru, sehingga ada usaha mencari si pembunuh.
            Galbraith mengajak pembaca memasuki dunia kesusastraan London. Yang mana dunia itu terguncang oleh novel karangan Owen Quine, berjudul Bombyx Mori (bahasa ilmiahnya) yang berarti Ulat Sutra. Pasalnya dalam novel itu, Owen menguak sisi buruk orang yang ada di dekatnya secara blak-blakan, termasuk di dalamnya Daniel Chard, kepala penerbit Roper Chard, Leonora Quine, istri Owen, Jerry Waldegrave, penyunting yang biasa mengedit novel-novel Owen, Elizabeth Tassel, agen Owen, Michael Fancourt, penulis sekaligus mantan sahabat Owen, Kathryn Kent, kekasih gelap sekaligus murid Owen dalam pelatihan menulis, serta tokoh-tokoh lain yang digambarkan begitu menjinjikkan.
            Owen menghilang, dia diduga marah karena tak ada yang mau menerbitkan Bombyx Mori yang dia anggap sebagai mahakaryanya. Owen biasanya kembali sebelum sampai sepuluh hari. Karena alasan itu Leonora meminta bantuan Strike untuk menemukan Owen, ketika suaminya itu tak pulang selama sepuluh hari.
            Cormoran Strike, detektif yang terkenal berkat kasus bunuh diri Lula Landry yang berhasil ia pecahkan serta berhasil memberi citra buruk terhadap polisi, lagi-lagi berhasil menemukan Owen. Meskipun dalam keadaan tewas mengenaskan.
            Sangat berbeda dengan seri pertama, seri kedua berkisah tentang pembunuhan brutal yang tampak seperti ritual persembahan. Parahnya lagi cara pelaku membunuh penulis novel itu sama persis dengan apa yang ditulis dalam Bombyx Mori. Terlihat seolah-olah Owen sendiri yang telah merencanakan kematiannya.
            Pekerjaan Strike menjadi panjang berkat banyaknya jumlah tersangka, yaitu semua orang yang dijelek-jelekkan Owen dalam novelnya. Pada kasus kali ini, bayaran bukan merupakan tujuan utama Strike seperti kasus sebelumnya, Mrs. Quine yang meminta bantuannya tidak menunjukkan kesanggupan membayar tagihan. Ada semacam cabang dari cerita utama yang menunjukkan perbedaan antara melakukan sesuatu karena mencintai prosesnya dan melakukan sesuatu karena berharap pada hasilnya. Perbedaan yang kentara antara Cormoran dan Matthew, serta antara Matthew dan Robin.
            Sekali lagi, setelah menyelesaikan seri kedua ini, Galbraith berhasil menciptakan potongan-potongan rumit yang mesti disusun oleh setiap pembaca untuk membuktikan tersangka yang dipilih oleh masing-masing pembaca. Meskipun Ulat Sutra tidak se-mengejutkan Dekut Burung Kukuk, namun menurut saya sendiri Ulat Sutra lebih baik dari pada seri pertama.
            Di dalam seri pertama maupun seri kedua, Galbraith selalu punya istilah-istilah baru yang dapat menjadi dasar bagi para pembaca untuk mengetahuinya lebih jauh, karena novelnya sendiri tidak memiliki catatan kaki. Bila meluangkan waktu untuk meneliti kata-kata asing tersebut pengetahuan pembaca akan bertambah.
            “Novel ini pas banget buat mengenal London lebih dalam lagi.”
            Tidak bisa disangkal bahwa Galbraith memang sangat lihai menggambarkan tempat-tempat yang muncul dalam novel ini. Mungkin tidak berlebihan kalau saya pikir dia berada di tempat sesungguhnya saat dia menyebut tempat itu dalam novelnya. Dia benar-benar berhasil menghidupkan cerita ini, seolah-olah, di London memang pernah ada kasus pembunuhan seorang penulis sinting.

            Tidak sabar membaca seri yang ketiga.

Resensi Dekut Burung Kukuk

Judul Buku                : Dekut Burung Kukuk (Terjemahan)
Penulis                        : Robert Galbraith
Penerbit                      : Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit             : 2014
Jumlah Halaman       : 520
ISBN                           : 978-602-03-0062-7


Ini kisah detektif, maka dari itu sudah sepatutnya setiap orang yang membaca buku ini meneliti setiap pernyataan yang tercetak pada setiap halamannya. Penyunting jelas yang pertama membaca sebelum orang lain membacanya. Ada dua nama yang salah ketik di halaman 419 dan 482. Di halaman 419 Carver berubah menjadi Carter, itu bisa menciptakan kesalahpahaman. Sementara di halaman 482, Strike tiba-tiba berubah nama menjadi Bristow.
              Wah, baru kali ini saya menulislan kekurangan novel di bagian awal resensi saya. Saya masih terbawa kisah detektif yang penuh teka-teki ini. Berspekulasi sepanjang hari. Bahkan ketika makan—itupun karena harus, kalau tidak saya pasti lebih suka melanjutkan bacaan—saya terus berpikir sayalah sang detektif, jadi saya harus menyusun potongan-potongan yang dihadirkan Galbraith dalam novel ini supaya semua menjadi jelas, dan saya bukan lagi seorang “penuduh” tanpa bukti.
            Nah, dalam masa-masa penasaran yang teramat buruk itu, saya tidak mungkin bersedia menunjukkan pada semua orang kelebihan buku ini di bagian awal. Sungguh, saya begitu pendendam, novel ini telah mengusik rasa penasaran saya sampai saya baru tidur karena tertidur. Jadi, saya merasa pantas menyebutkan kekurangan novel ini terlebih dahulu, agar dendam saya sedikit terbalas.
            Novel ini berisi kasus bunuh diri orang terkenal pertama yang mesti diselesaikan oleh Cormoran Strike, seorang detektif partikelir. Lula Landry, si pengidap penyakit bipolar, seorang supermodel yang “digilai” para jurnalis, dinyatakan bunuh diri karena frustrasi oleh pihak berwajib, dan semua orang setuju dengan hal itu, tetapi tidak dengan kakak Lula Landry, John Bristow.
            Bristow bersikeras mengatakan adiknya dibunuh, dia perlu bukti untuk meyakinkan semua orang. Oleh sebab itu, dia datang kepada Cormoran Strike, yang merupakan teman adik laki-lakinya, Charlie Bristow. Strike awalnya tidak mau mencari bukti yang dibutuhkan John karena dia sendiri yakin Lula Landry bunuh diri, namun karena kondisi keuangannya suram dan John mau membayarnya dobel, akhirnya dia menerima.
Dalam pekerjaannya, Strike dibantu oleh Robin Ellacott, wanita cerdas yang memiliki gairah tersembunyi pada pekerjaan detektif. Karakternya cocok disandingkan dengan karakter Strike, secara keseluruhan mereka berdua saling menyukai, dalam artian sebagai partner kerja dan saya berharap lebih dari sekadar partner.
Kisah ini dipenuhi teka-teki yang dirangkai dengan sangat cerdas oleh Galbraith. Untuk para pecinta kisah detektif mungkin mudah bagi mereka menuduh siapa penjahatnya dan mereka tidak merasa terkejut pada bagian akhir.
Tetapi, bukan itu inti dari cerita detektif. Itu adalah hal yang mudah kalau hanya sekadar menuduh, atau berfirasat bahwa mungkin Deeby Macc, Freddie Bestigui, Anthony Landry, Derrick Wilson, dan tokoh lain dalam novel ini merupakan pembunuh Lula Landry. Inti dari membaca kisah detektif adalah, bagaimana kita menemukan bukti atas tuduhan kita dari pernyataan-pernyataan yang dihadirkan oleh penulis.
Sebagai pembaca, kita pun tak boleh asal menuduh tanpa melingkari pernyataan-pernyatan yang mendukung tuduhan kita. Saya sendiri telah menjatuhkan tuduhan pada satu tokoh sejak Strike menyelidiki kasus bunuh diri itu. Galbraith berhasil membuat saya bimbang dengan tuduhan saya. Galbraith benar-benar mempermainkan saya.
Di samping kekurangan di bagian awal, sisa dari bagian-bagian novel ini keren. Galbraith menggambarkan sisi glamor London dengan luar biasa. Untuk yang belum pernah ke London, mungkin akan mengira itu merupakan sisi gelap dari London yang cantik, klasik dan polos.
Pembaca yang diperbolehkan membaca buku ini adalah mereka yang berusia delapan belas tahun ke atas. Karena di dalam novel ini bertebaran kehidupan malam yang belum pantas dibaca anak di bawah umur.
Bagi kalian yang memenuhi syarat sebagai pembaca dan cukup penasaran dengan kisah ini, selamat membaca, ya. Mungkin agak sulit menemukan buku ini sekarang, karena terbit tahun 2014 dan sangat laris. Bagi yang belum terbiasa membaca kisah detektif, nikmati saja bacaan ini secara perlahan. Karena kalian akan sangat menyukai kejutannya.

            Siapa yang mengira “dia” lah pembunuh itu? Saya menuding orang tanpa salah sasaran, namun sempat ragu dengan tuduhan saya. Apa kalian merasa tertantang? Dan mungkin dengan membaca kisah ini kalian jadi mengerti apa yang mungkin terjadi pada kasus-kasus pembunuhan yang sering diekpos media.

Sabtu, 19 Maret 2016

Aku, Buku dan Kebetulan


Waktu itu sekitar awal bulan Mei tahun 2015, aku mencari-cari sesuatu yang menarik untuk dibaca. Aku membuka ini dan itu yang menyajikan informasi mengenai buku. Karena aku penyuka novel, maka di mesin pencarian aku mengetik “Resensi Novel” kupikir mana yang teratas di daftar pencarian, itulah yang akan menyajikan informasi mengenai novel paling menarik.
     Entah sebuah kebetulan atau apa, aku melihat sayembara resensi 3 novel yang diadakan oleh Kaurama Buana Antara. Ada tiga novel yang boleh diresensi dalam sayembara tersebut. Lagi, entah sebuah kebetulan atau apa, aku langsung tertarik dengan A Girl Who Loves A Ghost. Kemudian, aku mencari tahu tentang novel itu, dan ... wow, zodiak penulisnya, Alexia Chen, sama sepertiku, Capricorn.
      Keesokannya, ketika abangku pergi ke pusat Kota Medan, aku memintanya singgah di toko buku. Untungnya tidak terlalu lama ia kembali. Sebelum aku membaca buku itu, kubaca lagi mengenai sayembara itu, persyaratannya dan juga hadiahnya.
    Aku sama sekali tak berharap mencapai peringkat pertama, karena aku juga baru pertama kali meresensi. Aku pun bingung apa yang harus kulakukan, kucari lagi tata cara meresensi, namun itu malah membuatku malas. Jadi, aku menulis apa saja yang kupikirkan tentang novel itu.
     Saat aku melihat pengumuman, aku senang bukan main, aku langsung membayangkan buku, buku, dan buku. Kutebak-tebak berapa banyak yang akan kudapat. Di kampus sambil senyum-senyum aku mengabarkan pada temanku yang juga menyukai novel bahwa aku akan mendapatkan novel gratis.
     Beberapa minggu berselang, barulah paket bukuku datang. Aku menemukan sepucuk surat dari Kaurama Buana Antara setelah membuka paketnya. Dari surat itu aku tahu ada buku yang baru saja diterbitkan. Judul buku itu “Titik Balik” ditulis oleh Ibu Rani.
      Semakin lama membaca semakin banyak kejutan di dalamnya. Pertama adalah Avatar, aku suka sekali animasinya, The Legend of Aang pun The Legend of Korra, keduanya seru. Bertemu pula dengan nama itu. Kedua, ada serendipity, setelah membaca tentangnya, aku jadi berpikir bahwa semua yang kualami merupakan fenomena serendipity. Bayangkan saja, kalau aku tidak peduli soal buku, apa aku akan menemukan sayembara menulis resensi? Tentu saja aku akan jadi seperti teman-temanku yang tidak tahu-menahu soal informasi sayembara resensi.
    Seperti tokoh aku dalam Titik Balik yang mengidamkan lavender, menyimpan gambarnya, bertemu dengan orang yang kampung halamannya dipenuhi lavender, sampai ia berjumpa dengan lavender. Aku merasa mengalami hal yang sama. Perasaan itu menguat saat Pak Manan disebut-sebut dalam buku tersebut. Sepertinya ada sesuatu yang mengonfirmasi perasaanku.
       Seolah keajaiban sedang berbicara padaku, “Iya, Aku bekerja untukmu. Bukankah nama ayahmu Manan? Itulah cara-Ku menunjukkan padamu bahwa Aku berusaha mewujudkan takdir yang kauinginkan. Semua itu kebetulan bagimu, tapi bukan kebetulan bagi-Ku.”
        Iya, nama bapakku Manan, aku sudah berteman dengan Ibu Rani di facebook, tetapi sama sekali belum mengatakan padanya bahwa ini sebuah kebetulan yang luar biasa. Pada kesempatan mana lagi aku bisa menemukan nama bapakku tercetak dalam sebuah novel? Kemungkinannya tidak banyak, ada pun akulah nanti yang jadi penulisnya.
      Sekarang, aku sangat yakin bahwa rangkaian kebetulan yang bukan kebetulan itu belum berakhir. Selama aku masih suka membaca akan selalu ada kebetulan-kebetulan lain. Mungkin saja kebetulan-kebetulan yang telah mewujud nyata tersebut sedang membangun kebetulan yang akan menjadikanku seorang penulis, yang karyanya bermanfaat bagi banyak orang, seperti Titik Balik.

      Itulah kisahku bersama buku dan segala kebetulan yang dibawanya.

Senin, 15 Februari 2016

Penyelamat Kaum Minoritas

Kisah ini datang dari masa enam tahun silam. Waktu itu aku baru tamat dari bangku SMP. Karena hendak melanjut ke tahap yang lebih tinggi, orangtuanku harus mendaftarkanku sebagai siswi SMA. Yang tak kalah pentingnya, orangtuaku juga harus membelikan seragam putih abu-abu. Membelinya terdengar mudah kalau ada uang. Tetapi, percayalah tidak mudah membelikan seragam untukku meskipun ibuku punya uang.
   Sejak SD ibuku sudah kewalahan kalau urusannya soal pakaianku. Dia sering membelikanku pakaian laki-laki yang ukurannya jauh lebih besar daripada pakaian anak perempuan. Ya, itulah masalahku, sulit mencari pakaian yang pas untuk tubuhku yang besar. Aku berdiri di pihak kaum minoritas, jarang-jarang ada orang yang tubuhnya segemuk aku. Maka dari itu, pabrik pakaian tidak mencetak pakaian untukku.
      Solusi yang ditemukan ibuku adalah membeli bakal seragam dan menjahitkannya ke tukang jahit. Aku dibawa menemui tukang jahit dan masalahnya beres, dia tidak perlu pergi ke sana ke mari hanya mencari seragam berukuran ekstra. Itu ketika aku masih SMP
     Solusi tersebut ternyata menghasilkan masalah baru. Aku tidak suka dengan model rokku. Penjahit membuatku terlihat seperti nenek-nenek. Rokku terlalu panjang. Belum lagi bentuknya tidak jelas, bukan rok berbiku-biku, bukan pula rok span. Aku ditertawakan oleh teman-temanku akibat rok itu. Gegara itulah aku tak mau lagi rok yang dijahitkan.
       Ibuku harus berusaha membujukku. Dia berjanji bahwa penjahit kali ini terkenal dengan hasilnya yang memuaskan. Kalau tidak cantik, maka akan dicari penjahit lainnya. Aku mengalah dan mengikutinya.
     Keesokannya kami pergi ke rumah penjahit itu. Kebetulan letakknya tidak jauh dari ladang orangtuaku, jadi sekaligus melihat jagung yang umurnya baru seminggu. Proses pengukurannya lumayan lama.
         Penjahit itu seorang wanita, umurnya mungkin sama dengan ibuku. Rambutnya pendek, sebatas pangkal leher. Dia mengenakan kacamata baca berbingkai tipis. Dia mengajakku berbicara. Sesekali dia bergurau tentang tubuhku.
      Sungguh sulit memiliki tubuh yang bentuknya seperti ini. Sebenarnya ada beberapa baju dari toko yang muat, namun di beberapa bagian terlihat kebesaran. Besar tubuhku tidak merata, tangan dan kakiku masuk dalam kategori kecil. Ukurannya tidak seimbang dengan bagian perut. Intinya aku kebesaran perut.
***
Sekitar seminggu kemudian tibalah hari masuk ke tingkatan baru. Ketika aku keluar dari rumah aku langsung bertemu dengan bibiku yang anaknya baru masuk SMP. Bibiku bilang rokku bagus. Hatiku melompat-lompat gembira. Senang rasanya bisa mengenakan seragam yang pas.
        Semenjak hari itu, aku lebih sering membeli bakal, lalu menjahitkannya. Banyak penjahit yang mahir membuatkan pakaian untuk orang gemuk seperti aku, dan pasti pakaiannya juga tak kalah mode dengan pakaian-pakaian jadi untuk orang kurus. Walaupun biayanya lebih mahal daripada beli jadi, menurutku itu wajar.
          Yang paling menyenangkan dari itu semua adalah, saat aku ingat kapan bajunya mulai kupakai. Seragam SMA-ku bahkan sampai sekarang masih bagus. Ketahanannya yang membuatkku bangga. Bahkan, kalau aku membeli pakaian jadi, yang biasanya pakaian tidur, aku minta pada orangtua supaya jahitannya ditambah. Di situlah peran penjahit.
          Sekarang ini aku sudah memasuki semester delapan. Nanti waktu wisuda aku perlu kebaya, karena tradisinya pas wisuda kenakan kebaya terbaik. Kalau tidak ada penjahit-penjahit itu, bagaimanalah nasibku? Payah mengungkapkannya