Senin, 18 Mei 2015

Sayembara Resensi 3 Novel

Sebuah Novel Kelas Internasional
Ini pertama kalinya aku menulis resensi novel, itu pun karena hobiku berkeliaran di dunia maya, maka aku bertemu dengan sayembara menulis resensi. Tanpa pikir panjang aku langsung memutuskan untuk ikut, meskipun aku tahu aku kurang berpengalaman dalam hal resensi. Ada tiga judul pilihan yang diajukan pihak panitia, dan karena cover A Girl Who Loves A Ghost saja, aku langsung tertarik, dan ingin segera memilikinya, walaupun keikutsertaanku dalam sayembara ini bisa saja batal karena ‘kemalasan’ merindukanku.
Setelah kudapatkan, aku melihat muka-belakang, muka-belakang, di mana endorsement-nya? Aku tak mau ambil pusing soal itu, lagian apa hubungannya novel bagus dengan endorsement? Dukungan semacam itu tidak akan mengubah isinya. Aku sudah sering kecewa, pergi ke toko buku, melihat-lihat cover buku, mengarahkan mata ke dukungan yang bagus dari orang yang berstatus bagus, membeli buku yang mendapat dukungan paling bagus, dan akhirnya setelah kubaca, “Kembalikan uangku!” adalah kalimat yang kuteriakkan.
            Biasanya aku sanggup membaca novel setebal lima ratus halaman hanya dalam waktu dua hari, jika ceritanya menarik. Dan Alexia Chen berhasil membuatku mengorbankan waktu tidurku hanya untuk membaca novelnya. Tidak banyak penulis yang sanggup melakukan itu padaku, dan dia salah satunya.
            A Girl Who Loves A Ghost becerita tentang gadis cenayang bernama Aleeta Jones. Gadis itu merupakan blasteran Indonesia-Amerika-China. Suatu pagi dia melihat berita pembunuhan yang terjadi pada anak pengusaha kaya di berita koran, Nakano Yuto. Kebiasaan Aleeta mendoakan orang kurang beruntung, meskipun dia tak mengenalnya, sukses menyeret Yuto ke hadapan Aleeta. Karena penyeretan itu, Yuto memaksa Aleeta membantunya menyelesaikan ‘urusan yang belum selesai’.
     Pemaksaan itu akhirnya membuat Aleeta terlibat dalam masalah-masalah yang hendak diselesaikan Yuto. Hantu Yuto dan Cenayang Aleeta sama sekali tidak merencanakan kisah percintaan mereka bakal mewarnai misi penyelesaian masalah. Malah sebaliknya, ‘misi penyelesaian masalah’ seolah berubah menajadi tokoh yang merencanakan kisah percintaan mereka.
            Selama dua hari membaca novel buatan anak bangsa ini, aku serasa membaca novel berkelas buatan penulis berpengalaman. Bahasa yang digunakan oleh penulis sederhana. Meskipun ‘percintaan’ ditambah ‘hantu’ ditambah ‘cenayang’ ditambah ‘urusan yang belum selesai’ merupakan kombinasi yang sangat sering dijumpai dalam film maupun buku, namun penulis dapat membuatnya menjadi indah dengan kehadiran tokoh-tokoh yang unik. ‘Urusan yang belum selesai’ yang dirangkai oleh penulis melengkapi keindahan itu.
            Menulis dengan sudut pandang orang pertama, menurutku sama dengan akting. Ketika aku memilih menjadi tokoh utama di dalam tulisanku, yang mana aku di dalam cerita adalah tokoh yang agresif sementara aku dalam kehidupan nyata adalah orang yang pemalu, maka pada saat itulah aku berakting, tentu menunjukkan aktingku melalui tulisan.
            Entah hanya perasaan atau memang kenyataannya, penulis belum berhasil menanggalkan kepribadiannya dalam cerita ini. Alexia Chen dan Aleeta Jones seolah merupakan tokoh yang sama dalam dunia berbeda, kesukaan penulis terhadap warna ungu dilekatkan pada Aleeta Jones merupakan salah satu contohnya. Ini tentu tidak baik jika hendak menulis novel lainnya dengan sudut pandang orang pertama. Tetapi, ini bukanlah masalah besar dalam novel ini.
            Kejutan di dalam novel ini terbilang minim—menurutku—karena aku hampir barhasil menebak semuanya. Entah karena berspekulasi adalah kegiatan yang paling kusuka atau karena memang plotnya mudah ditebak. Meski begitu, tidak akan mengurangi keindahan yang sudah kusebutkan tadi.
            Novel ini kurang menyisipkan informasi yang membuat pembaca terhibur sekaligus mendapat pengetahuan baru. Misalkan penulis bisa menyisipkan informasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan tulisannya, seperti pengetahuan tentang budaya Cina, Amerika, yang sekiranya belum diketahui banyak orang di Indonesia. Lalu bisa yang berhubungan dengan eksistensi hantu.
            Selebihnya, aku akan meletakkan novel ini di tempat yang sama di mana novel-novel sekelas internasional kuletakkan. Karena A Girl Who Loves A Ghost sangat sangat pantas bersaing dengan novel-novel kelas internasional, aku sangat bangga menuliskan ini.
            Selanjutnya aku benar-benar berharap novel ini dibuat menjadi drama seri. Aku tak rela kalau dibuat film, karena selalu bikin jengkel. Meskipun tak ada yang bertanya mengapa aku jengkel? Jawabannya adalah, kalau novel dibuat jadi film biasanya dipotong sana-sini, jelas aku tidak rela.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar