Kisah
ini datang dari masa enam tahun silam. Waktu itu aku baru tamat dari bangku
SMP. Karena hendak melanjut ke tahap yang lebih tinggi, orangtuanku harus
mendaftarkanku sebagai siswi SMA. Yang tak kalah pentingnya, orangtuaku juga
harus membelikan seragam putih abu-abu. Membelinya terdengar mudah kalau ada
uang. Tetapi, percayalah tidak mudah membelikan seragam untukku meskipun ibuku
punya uang.
Sejak SD ibuku sudah kewalahan kalau
urusannya soal pakaianku. Dia sering membelikanku pakaian laki-laki yang
ukurannya jauh lebih besar daripada pakaian anak perempuan. Ya, itulah
masalahku, sulit mencari pakaian yang pas untuk tubuhku yang besar. Aku berdiri
di pihak kaum minoritas, jarang-jarang ada orang yang tubuhnya segemuk aku. Maka
dari itu, pabrik pakaian tidak mencetak pakaian untukku.
Solusi yang ditemukan ibuku adalah
membeli bakal seragam dan menjahitkannya ke tukang jahit. Aku dibawa menemui
tukang jahit dan masalahnya beres, dia tidak perlu pergi ke sana ke mari hanya
mencari seragam berukuran ekstra. Itu ketika aku masih SMP
Solusi tersebut ternyata
menghasilkan masalah baru. Aku tidak suka dengan model rokku. Penjahit
membuatku terlihat seperti nenek-nenek. Rokku terlalu panjang. Belum lagi
bentuknya tidak jelas, bukan rok berbiku-biku, bukan pula rok span. Aku
ditertawakan oleh teman-temanku akibat rok itu. Gegara itulah aku tak mau lagi
rok yang dijahitkan.
Ibuku harus berusaha membujukku. Dia
berjanji bahwa penjahit kali ini terkenal dengan hasilnya yang memuaskan. Kalau
tidak cantik, maka akan dicari penjahit lainnya. Aku mengalah dan mengikutinya.
Keesokannya kami pergi ke rumah
penjahit itu. Kebetulan letakknya tidak jauh dari ladang orangtuaku, jadi
sekaligus melihat jagung yang umurnya baru seminggu. Proses pengukurannya
lumayan lama.
Penjahit itu seorang wanita, umurnya
mungkin sama dengan ibuku. Rambutnya pendek, sebatas pangkal leher. Dia
mengenakan kacamata baca berbingkai tipis. Dia mengajakku berbicara. Sesekali
dia bergurau tentang tubuhku.
Sungguh sulit memiliki tubuh yang
bentuknya seperti ini. Sebenarnya ada beberapa baju dari toko yang muat, namun
di beberapa bagian terlihat kebesaran. Besar tubuhku tidak merata, tangan dan
kakiku masuk dalam kategori kecil. Ukurannya tidak seimbang dengan bagian perut.
Intinya aku kebesaran perut.
***
Sekitar
seminggu kemudian tibalah hari masuk ke tingkatan baru. Ketika aku keluar dari
rumah aku langsung bertemu dengan bibiku yang anaknya baru masuk SMP. Bibiku
bilang rokku bagus. Hatiku melompat-lompat gembira. Senang rasanya bisa
mengenakan seragam yang pas.
Semenjak hari itu, aku lebih sering
membeli bakal, lalu menjahitkannya. Banyak penjahit yang mahir membuatkan
pakaian untuk orang gemuk seperti aku, dan pasti pakaiannya juga tak kalah mode
dengan pakaian-pakaian jadi untuk orang kurus. Walaupun biayanya lebih mahal
daripada beli jadi, menurutku itu wajar.
Yang paling menyenangkan dari itu
semua adalah, saat aku ingat kapan bajunya mulai kupakai. Seragam SMA-ku bahkan
sampai sekarang masih bagus. Ketahanannya yang membuatkku bangga. Bahkan, kalau
aku membeli pakaian jadi, yang biasanya pakaian tidur, aku minta pada orangtua
supaya jahitannya ditambah. Di situlah peran penjahit.
Sekarang
ini aku sudah memasuki semester delapan. Nanti waktu wisuda aku perlu kebaya,
karena tradisinya pas wisuda kenakan kebaya terbaik. Kalau tidak ada
penjahit-penjahit itu, bagaimanalah nasibku? Payah mengungkapkannya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar