Senin, 15 Februari 2016

Penyelamat Kaum Minoritas

Kisah ini datang dari masa enam tahun silam. Waktu itu aku baru tamat dari bangku SMP. Karena hendak melanjut ke tahap yang lebih tinggi, orangtuanku harus mendaftarkanku sebagai siswi SMA. Yang tak kalah pentingnya, orangtuaku juga harus membelikan seragam putih abu-abu. Membelinya terdengar mudah kalau ada uang. Tetapi, percayalah tidak mudah membelikan seragam untukku meskipun ibuku punya uang.
   Sejak SD ibuku sudah kewalahan kalau urusannya soal pakaianku. Dia sering membelikanku pakaian laki-laki yang ukurannya jauh lebih besar daripada pakaian anak perempuan. Ya, itulah masalahku, sulit mencari pakaian yang pas untuk tubuhku yang besar. Aku berdiri di pihak kaum minoritas, jarang-jarang ada orang yang tubuhnya segemuk aku. Maka dari itu, pabrik pakaian tidak mencetak pakaian untukku.
      Solusi yang ditemukan ibuku adalah membeli bakal seragam dan menjahitkannya ke tukang jahit. Aku dibawa menemui tukang jahit dan masalahnya beres, dia tidak perlu pergi ke sana ke mari hanya mencari seragam berukuran ekstra. Itu ketika aku masih SMP
     Solusi tersebut ternyata menghasilkan masalah baru. Aku tidak suka dengan model rokku. Penjahit membuatku terlihat seperti nenek-nenek. Rokku terlalu panjang. Belum lagi bentuknya tidak jelas, bukan rok berbiku-biku, bukan pula rok span. Aku ditertawakan oleh teman-temanku akibat rok itu. Gegara itulah aku tak mau lagi rok yang dijahitkan.
       Ibuku harus berusaha membujukku. Dia berjanji bahwa penjahit kali ini terkenal dengan hasilnya yang memuaskan. Kalau tidak cantik, maka akan dicari penjahit lainnya. Aku mengalah dan mengikutinya.
     Keesokannya kami pergi ke rumah penjahit itu. Kebetulan letakknya tidak jauh dari ladang orangtuaku, jadi sekaligus melihat jagung yang umurnya baru seminggu. Proses pengukurannya lumayan lama.
         Penjahit itu seorang wanita, umurnya mungkin sama dengan ibuku. Rambutnya pendek, sebatas pangkal leher. Dia mengenakan kacamata baca berbingkai tipis. Dia mengajakku berbicara. Sesekali dia bergurau tentang tubuhku.
      Sungguh sulit memiliki tubuh yang bentuknya seperti ini. Sebenarnya ada beberapa baju dari toko yang muat, namun di beberapa bagian terlihat kebesaran. Besar tubuhku tidak merata, tangan dan kakiku masuk dalam kategori kecil. Ukurannya tidak seimbang dengan bagian perut. Intinya aku kebesaran perut.
***
Sekitar seminggu kemudian tibalah hari masuk ke tingkatan baru. Ketika aku keluar dari rumah aku langsung bertemu dengan bibiku yang anaknya baru masuk SMP. Bibiku bilang rokku bagus. Hatiku melompat-lompat gembira. Senang rasanya bisa mengenakan seragam yang pas.
        Semenjak hari itu, aku lebih sering membeli bakal, lalu menjahitkannya. Banyak penjahit yang mahir membuatkan pakaian untuk orang gemuk seperti aku, dan pasti pakaiannya juga tak kalah mode dengan pakaian-pakaian jadi untuk orang kurus. Walaupun biayanya lebih mahal daripada beli jadi, menurutku itu wajar.
          Yang paling menyenangkan dari itu semua adalah, saat aku ingat kapan bajunya mulai kupakai. Seragam SMA-ku bahkan sampai sekarang masih bagus. Ketahanannya yang membuatkku bangga. Bahkan, kalau aku membeli pakaian jadi, yang biasanya pakaian tidur, aku minta pada orangtua supaya jahitannya ditambah. Di situlah peran penjahit.
          Sekarang ini aku sudah memasuki semester delapan. Nanti waktu wisuda aku perlu kebaya, karena tradisinya pas wisuda kenakan kebaya terbaik. Kalau tidak ada penjahit-penjahit itu, bagaimanalah nasibku? Payah mengungkapkannya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar